TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Meningkatnya investasi pengolahan biji kakao di tengah merosotnya produksi jelas menimbulkan persoalan. Ada potensi kita kekurangan pasokan biji kakao. Itu pula yang menelurkan rencana pemerintah mencabut bea masuk atas impor kakao.
Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan mengatakan, industri hilir kakao nasional terus meningkat. Namun, peningkatan industri ini tak didukung oleh ketersediaan bahan baku yang cukup. Makanya, "Kami sedang pikirkan rencana pembebasan bea masuk (untuk biji kakao)," ujarnya, Rabu (12/2).
Selama ini, pemerintah menerapkan bea masuk untuk impor biji kakao sebesar 5% untuk melindungi petani produksi petani lokal sekaligus harga jualnya. Impor biji kakao yang bebas dari bea masuk bisa memukul harga panen biji kakao petani lokal.
Namun, di tengah meningkatnya permintaan biji kakao membuat pemerintah berpikir ulang. Apalagi sudah ada proyeksi akan terjadi kekurangan biji kakao jika industri pengolahan kakao nasional beroperasi dengan kapasitas penuh dalam dua tahun ke depan.
Saat ini, total kapasitas terpasang dari perusahaan pengolahan biji kakao dalam negeri, termasuk kapasitas terpasang perusahaan yang mati suri mencapai 850.000 ton per tahun.
Sementara, produksi kakao nasional terus merosot dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, tahun 2010 produksi kakao nasional 837.918 ton, dan turun menjadi 712.231 ton pada 2011. Bahkan, Asosiasi Kakao Indonesia menyebutkan, tahun lalu produksi kakao lokal hanya 450.000 ton dan diproyeksikan kembali susut menjadi 425.000 ton pada 2014.
Salah satu penyebab turunnya produksi kakao nasional adalah melorotnya produktivitas kakao akibat usia tanaman yang sudah tua. Pada 2009, produktivitas kakao masih sekitar 822 kilogram (kg) per hektare (ha) dan melorot menjadi 739 kg per ha pada 2012.
Kekhawatiran akan minimnya suplai benih biji kakao semakin tinggi setelah program Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao) yang berlangsung sejak 2009 selesai pada 2013. Program Gernas kakao hanya menjangkau 30% lahan atau 450.000 ha dari total lahan kakao nasional 1,7 juta ha.Hanya hasilnya belum tampak. Padahal, kakao menjadi salah satu komoditas andalan ekspor.
Sindra Wijaya, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) bilang, kebijakan pencabutan bea masuk impor kakao akan membantu industri pengolahan karena kekurangan pasokan kakao. "Apalagi, ke depan industri pengolahan akan terus berkembang," jelas Sindra, kepada KONTAN, Kamis (13/2).
Menurut Sindra, kebutuhan biji kakao industri pengolahan sekitar 500.000 ton per tahun. Jumlah ini akan naik jadi 600.000 ton pada 2015 seiring bertambahnya kapasitas industri olahan.
Namun, pembebasan bea masuk kakao tentu akan menyebabkan produksi kakao lokal kian tergerus. Untuk itu, pemerintah harus berhati-hati dalam menentukan mencabut bea masuk impor. Jamak terjadi, dibukanya keran ekspor akan membuat harga komoditas lokal terjungkal.
Kebijakan ideal sudah barang tentu harus melakukan revitalisasi besar-besaran atas produksi kakao. Pemerintah harus mendorong petani meningkatkan produksinya. Maka itu, pemerintah mestinya melanjutkan program Gerakan Nasional Kakao yang selesai tahun lalu. Pasalnya, program itu baru menyentuh sekitar 30% dari total lahan kakao nasional. Akibatnya, peningkatan produksi kakao belum maksimal *
Editor: Lodie_Tombeg
Sumber: Kontan
Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan mengatakan, industri hilir kakao nasional terus meningkat. Namun, peningkatan industri ini tak didukung oleh ketersediaan bahan baku yang cukup. Makanya, "Kami sedang pikirkan rencana pembebasan bea masuk (untuk biji kakao)," ujarnya, Rabu (12/2).
Selama ini, pemerintah menerapkan bea masuk untuk impor biji kakao sebesar 5% untuk melindungi petani produksi petani lokal sekaligus harga jualnya. Impor biji kakao yang bebas dari bea masuk bisa memukul harga panen biji kakao petani lokal.
Namun, di tengah meningkatnya permintaan biji kakao membuat pemerintah berpikir ulang. Apalagi sudah ada proyeksi akan terjadi kekurangan biji kakao jika industri pengolahan kakao nasional beroperasi dengan kapasitas penuh dalam dua tahun ke depan.
Saat ini, total kapasitas terpasang dari perusahaan pengolahan biji kakao dalam negeri, termasuk kapasitas terpasang perusahaan yang mati suri mencapai 850.000 ton per tahun.
Sementara, produksi kakao nasional terus merosot dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, tahun 2010 produksi kakao nasional 837.918 ton, dan turun menjadi 712.231 ton pada 2011. Bahkan, Asosiasi Kakao Indonesia menyebutkan, tahun lalu produksi kakao lokal hanya 450.000 ton dan diproyeksikan kembali susut menjadi 425.000 ton pada 2014.
Salah satu penyebab turunnya produksi kakao nasional adalah melorotnya produktivitas kakao akibat usia tanaman yang sudah tua. Pada 2009, produktivitas kakao masih sekitar 822 kilogram (kg) per hektare (ha) dan melorot menjadi 739 kg per ha pada 2012.
Kekhawatiran akan minimnya suplai benih biji kakao semakin tinggi setelah program Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao) yang berlangsung sejak 2009 selesai pada 2013. Program Gernas kakao hanya menjangkau 30% lahan atau 450.000 ha dari total lahan kakao nasional 1,7 juta ha.Hanya hasilnya belum tampak. Padahal, kakao menjadi salah satu komoditas andalan ekspor.
Sindra Wijaya, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) bilang, kebijakan pencabutan bea masuk impor kakao akan membantu industri pengolahan karena kekurangan pasokan kakao. "Apalagi, ke depan industri pengolahan akan terus berkembang," jelas Sindra, kepada KONTAN, Kamis (13/2).
Menurut Sindra, kebutuhan biji kakao industri pengolahan sekitar 500.000 ton per tahun. Jumlah ini akan naik jadi 600.000 ton pada 2015 seiring bertambahnya kapasitas industri olahan.
Namun, pembebasan bea masuk kakao tentu akan menyebabkan produksi kakao lokal kian tergerus. Untuk itu, pemerintah harus berhati-hati dalam menentukan mencabut bea masuk impor. Jamak terjadi, dibukanya keran ekspor akan membuat harga komoditas lokal terjungkal.
Kebijakan ideal sudah barang tentu harus melakukan revitalisasi besar-besaran atas produksi kakao. Pemerintah harus mendorong petani meningkatkan produksinya. Maka itu, pemerintah mestinya melanjutkan program Gerakan Nasional Kakao yang selesai tahun lalu. Pasalnya, program itu baru menyentuh sekitar 30% dari total lahan kakao nasional. Akibatnya, peningkatan produksi kakao belum maksimal *
Editor: Lodie_Tombeg
Sumber: Kontan
Sumber : Investor Daily
JAKARTA - Pemerintah terus berupaya menggenjot produksi biji kakao nasional. Selain untuk memenuhi tingginya permintaan komoditas tersebut di dalam negeri, peningkatan produksi diperlukan untuk mendongkrak ekspor.
JAKARTA - Pemerintah terus berupaya menggenjot produksi biji kakao nasional. Selain untuk memenuhi tingginya permintaan komoditas tersebut di dalam negeri, peningkatan produksi diperlukan untuk mendongkrak ekspor.
Saat ini, kakao telah menjadi salah satu komoditas andalan ekspor nasional, di samping kelapa sawit dan karet, dengan sumbangan devisa mencapai US$ 1,05 miliar tahun lalu.
Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengakui, saat ini terjadi ketimpangan (gap) yang cukup besar antara sektor hulu dan hilir kakao.
Sektor hilir berkembang sangat pesat, sementara sektor hulu berjalan begitu lamban. Tahun ini, produksi biji kakao nasional bisa mencapai 800 ribu ton naik dua kali lipat dari tahun lalu. Seluruh produksi tersebut dipastikan terserap seluruhnya untuk industri pengolahan kakao di dalam negeri.
"Kami terus melakukan berbagai upaya untuk menggenjot produksi biji kakao demi memenuhi kebutuhan industri pengolahan yang berkembang pesat, juga ekspor. Selain melalui gerakan nasional kakao (gernas kakao), kami juga berupaya meningkatkan nilai tambah produknya agar petani kakao lebih bergairah menanam komoditas itu," kata dia di Jakarta, Rabu (18/9).
Rusman mengungkapkan, petani kakao harus meningkatkan nilai tambah produknya jika ingin memperoleh pendapatan lebih besar. Salah satu upaya peningkatan nilai tambah itu adalah dengan mewajibkan fermentasi agar petani memperoleh harga jual lebih baik. Petani memang selama ini cenderung enggan melakukan fermentasi karena memakan waktu dan biaya tambahan. Bahkan ada anggapan apabila bijinya tidak difermentasi akan ada keunggulan
lain.
"Agar memperoleh biji kakao yang baik, kami juga mendorong khususnya petani untuk mengikuti standard operation procedures (SOP) dan memenuhi good agricultural practices (GAP). Ada harga ada kualitas. Dengan kualitas yang baik, petani akan mendapat harga yang baik pula," kata dia.
Direktur Tanaman Rempah dan Aromatik Ditjen Perkebunan Kementan Azwar AB mengatakan, peningkatan produksi biji kakao nasional tidak dapat serta merta terlihat hasilnya karena gernas kakao baru akan terlihat maksimal hasilnya pada 2019. Saat ini, produksinya baru 25% dari total potensi produksinya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi kakao Indonesia tahun lalu 700 ribu ton. Sedangkan produktivitasnya baru 300-400 kilogram (kg) per hektare (ha) per tahun.
"Produktivitas masih dapat ditingkatkan dua kali lipat dari sekarang. Kami juga tegaskan bahwa pelaksanaan gernas sangat penting karena 96% perkebunan kakao adalah milik rakyat dari total 1,7 juta ha. Langkah itu untuk membantu mendorong peremajaan demi mendongkrak produksi," kata dia.
Selain masalah produksi yang belum seimbang, kata Azwar, nilai tambah kakao lebih banyak dinikmati industri? pengolahan. Berdasarkan data International Cacao Organization (ICCO), nilai produksi biji kakao dunia hanya US$ 10 miliar per tahun.
Sedangkan nilai penjualan ritelnya mencapai US$ 107 miliar. Itu juga menunjukkan, pemanfaatan kakao sebagai bahan baku dalam pengolahan tidak sebesar bahan baku lainnya.
"Cokelat kompon (compound) misalnya, kontribusinya dalam produk olahan sebesar 16%. Sedangkan real chocolate mencapai 30%. Sedangkan kontribusi bahan baku lainnya lebih besar, seperti lemak (fat) dan gula," ungkap Azwar AB.
Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Ditjen Industri Agro Kemenperin Faiz Achmad mengatakan, kakao merupakan sektor yang sangat potensial untuk dikembangkan karena merupakan bahan dasar pembuatan makanan dan minuman cokelat yang digemari oleh masyarakat dunia. Konsumsi cokelat tidak hanya didominasi Amerika Serikat dan Uni Eropa saja, beberapa negara di Asia juga mulai menggemari cokelat, terutama Tiongkok.
"Saat ini, kakao merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia dari sektor perkebunan, selain kelapa sawit dan karet dan menyumbang sebesar US$ 1,05 miliar untuk devisa negara dari ekspor biji kakao dan produk kakao olahan di 2012," ungkap dia.
Negara tujuan ekspor biji kakao tersebut menyebar ke berbagai negara dengan pasar utama yaitu Malaysia 47%, Amerika Serikat 21%, Singapura 12%, Brazil 7%, Tiongkok 4%, dan sisanya ke berbagai negara lainnya.
Produksi biji kakao 2012 sebanyak 450 ribu ton dengan 70% di antaranya diekspor. Produksi kakao sebanyak 95% berasal dari petani perorangan.
Terancam Defisit
Dalam perayaan HUT Hari Kakao Indonesia Ke-1, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengungkapkan, tingginya pertumbuhan kebutuhan kakao industri belum seimbang dengan produksi di tingkat hulu. Akibatnya, pasokan kakao diperkirakan defisit. Situasi industri kakao dalam negeri selama lima tahun terakhir sudah berbeda dibanding sebelumnya. Industri tumbuh pesat, namun produksi kakao nasional masih rendah sehingga belum dapat mengimbangi tuntutan industri.
"Ke depan, kalau Indonesia tidak meningkatkan produksi biji kakao, pada 2015 akan terjadi masalah karena produksi bijih lebih lambat daripada kebutuhan industri," tutur Bayu. Pesatnya pertumbuhan industri dalam negeri terjadi setelah pemerintah memberlakukan bea keluar (BK) kakao pada 2010, sehingga industri dapat memperoleh pasokan kakao lebih besar. Itu terlihat dari turunnya ekspor kakao Indonesia pada 2012 sebanyak 136 ribu ton. Jumlah itu jauh lebih rendah ketimbang 2011 sebanyak 210 ribu ton dan 2010 sebanyak 430 ribu ton.
Sementara itu, permintaan kakao dunia mencapai 4 juta ton per tahun. Menurut dia, kakao dalam negeri menghadapi sejumlah tantangan, yaitu revitalisasi perkebunan kakao melalui gernas kakao yang terhenti.
Padahal, awalnya program itu dilaksanakan hingga 2015. Kakao juga mengahadapi pasar yang terus berkembang sehingga produksi harus ditingkatkan. Hal itu juga harus disertai dengan peningkatan kualitas.
"Ini masalah mendasar tetapi sampai sekarang belum terselesaikan. Kakao fermentasi, termasuk organik dan integrated cocoa farm harus sudah mulai diapresiasi. Perlu dipikirkan adanya ISCO (Indonesia Sustainable Cacao) seperti halnya pada sawit," jelas Bayu. (tl)